Beberapa elemen masyarakat sipil
yang tergabung dalam berbagai lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan
jaringan petani mengadakan diskusi “Menyoal RUU Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani” di sekretariat ICBB, 09 Juni 2012, Bogor, Jawa Barat. Tujuan dari
kegiatan tersebut, salah satunya membahas draf undang-undang perlindungan dan
pemberdayaan petani yang dikaitkan dengan situasi petani saat ini. Sharing
informasi mengenai rencana lanjutan Judicial Review atas UU Nomor 12 tahun 1992
tentang Sistem Budidaya Tanaman juga menjadi tema penting terkait fenomena
kriminalisasi petani pemulia tanaman pangan.
Diskusi pun mengundang dua
narasumber, Dwi Andreas Santosa, Ketua Program S2 Bioteknologi Tanah dan
Lingkungan IPB, serta Gunawan dari IHCS sekaligus penyusun draf naskah akademik
RUU Perlindungan dan Pemberdayaan versi masyarakat sipil. Demi kelancaran
kegiatan, Taufik Mujib ditunjuk sebagai fasilitator, memandu kegiatan sedari
awal.
Peran petani sebagai penyedia
pangan nasional sangat besar, namun tidak dengan kesejahteraan mereka. Petani
Indonesia akrab dengan kemiskinan. Pada kenyataannya, mereka mayoritas adalah
petani gurem, memiliki lahan kurang dari setengah hektar.
Sulitnya akses petani terhadap
permodalan, semisal kredit perbankan, lebih disebabkan sektor pertanian
dianggap beresiko tinggi untuk merugi. Selain itu kurangnya akses informasi
pasar, kerap merugikan petani karena mendapat harga lebih mahal di atas harga
pasar. Kelembagaan ekonomi petani yang digadang-gadang mampu menyediakan sarana
produksi, ternyata hanya bersifat pragmatis akibat pendekatan top down.
Kelompok tani dibentuk hanya untuk memeroleh program dan fasilitas dari
pemerintah.
Intinya, banyak persoalan dan
tantangan yang dihadapi petani terkait peningkatan kesejahteraan hidup mereka.
Kebijakan atau regulasi diperlukan bukan sekadar bertujuan meningkatkan
produksi pertanian, namun turut melindungi dan memberdayakan petani menuju
kemandirian ekonomi.
Rancangan Undang-Undang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani bisa menjadi pintu masuk menuju cita-cita
kedulatan petani. Sayangnya, draf undang-undang yang disusun legislatif jauh
dari harapan. Sebaliknya, berpotensi membebani petani. Untuk itu perlu
dilakukan pengawalan melalui pembahasan konseptual secara terus-menerus dan
bersama-sama.
Sebenarnya, pemerintah telah
berupaya mengatur hak-hak petani melalui serangkaian peraturan
perundang-undangan. Keberadaan peraturan perundangan yang mengatur hak petani
semisal UU pemuliaan varietas tanaman, UU tentang sistem budidaya tanaman, atau
UU perlindungan pangan berkelanjutan, ternyata tak komperhensif,
terpecah-pecah, dan bertentangan satu sama lain. Hal ini tentu akan memperberat
petani dalam mengelola pertanian. Undang-undang yang mestinya melindungi
petani, ternyata justru merugikan hak-hak petani.
Namun demikian bukan berarti
petani tak memiliki payung normatif terkait hak dan kedaulatan mereka. Piagam
Petani 1970 dan deklarasi hak petani 2001 di Cibubur, bisa menjadi semacam
tonggak perlindungan petani terkait hak atas tanah sampai dengan hak atas
budaya.
Sementara itu, perjalanan RUU
perlindungan dan pemberdayaan petani, pada 2009 draf RUU masuk ke DPR. Setelah
masuk program legislasi nasional (prolegnas) naskah RUU keluar, namun hasilnya
berbeda. Beranjak ke Oktober 2011, naskah RUU versi DPR disahkan. Sebelumnya,
perdebatan mewarnai sidang DPR, lantaran kebingungan menempatkan pos pembiayaan
dan anggaran. Pilihannya: apakah akan dibebankan pada kementrian pertanian atau
kementrian keuangan?
Keraguan masyarakat sipil atas
naskah RUU yang berbeda cukup beralasan. Hal itu bisa dilihat dari isinya yang
mengandung banyak kejanggalan dan kekurangan. Beberapa kritik tentang RUU
perlindungan dan pemberdayaan petani:
Tidak jelasnya definisi petani.
Tidak jelasnya batasan kawasan
lahan pertanian.
Upaya redistribusi lahan tidak
berjalan.
Tidak jelasnya definisi petani
menyebabkan kesimpangsiuran subjek dan hak petani. Definsi petani akan
berpengaruh pada posisi petani: (i) sebagai subjek landreform, (ii) petani
sebagai korban konflik agraria, dan (iii) petani sebagai produsen. Tidak
jelasnya batasan kawasan lahan pertanian akan melemahkan perlindungan pada para
petani gurem. Sementara itu pasal-pasal mengenai redistribusi lahan telah
hilang dan diganti dengan konsep konsolidasi lahan.
Konsep konsolidasi dan jaminan
ketersediaan lahan pertanian sebenarnya lebih pada pemanfaatan lahan-lahan
terlantar. Pemerintah melakukan perluasan lahan pertanian, memudahkan petani
memeroleh akses pada tanah negara. Tertera pada pasal 66 RUU perlindungan dan pemberdayaan
petani, bahwa petani dilarang mengalihfungsikan lahan pertanian.
Pengalihfungsian lahan pertanian dapat dikenai pidana (Pasal 111).
Di dalam ketentuan pidana,
menyiratkan larangan impor jika persediaan di dalam negeri masih cukup dan
melimpah. Sementara itu pemerintah berhak menentukan jenis komoditas dan tarif
bea masuk. Ketentuan itu mengandung bias, karena wewenang menentukan jenis
komoditas itu diatur di dalam Peraturan Pemerintah. Anehnya, para pendamping
petani juga berpotensi dipidana terkait klausul “penyuluhan yang merugikan
petani dapat dikenai sanksi pidana”.
Selama ini petani kerap mengalami
kriminalisasi akibat aktivitas budidaya tanaman pangan. Kriminalisasi terhadap
petani menyangkut dua hal (i) larangan menyebarkan benih, dan (ii) tuduhan
sertifikasi liar. Padahal penyebaran benih antarpetani selama ini tak pernah
bermasalah. Sementara untuk mendapatkan sertifikasi, petani harus memiliki bank
benih seluas lebih dari 50 hektar dan melakukan uji multilokasi di 20 tempat.
Hal yang sulit dilakukan oleh seorang petani gurem.
Di sisi lain, ketentuan asuransi
pertanian meliputi beberapa hal semisal bencana alam, perubahan iklim, ataupun
resiko atas kegagalan program pemerintah. Seharusnya konsep asuransi pertanian
bukan sekadar konsep asuransi konvensional, dimana petani sebagai nasabah yang
mesti membayar premi. Jika konsep asuransi konvensional itu diterapkan, maka
petani akan rentan menjadi korban, karena dana yang diserap dari petani bisa
digunakan untuk kepentingan tertentu.
Dalam diskusi muncul beberapa
pertanyaan:
“apakah perlindungan petani juga
berarti daulat petani atas sumberdaya (lahan) dan akses keuangan?”
“seberapa penting RUU
perlindungan dan pemberdayaan petani menjawab persoalan petani di Indonesia?”
Refleksi diskusi tentang RUU
perlindungan dan pemberdayaan petani nampaknya membuka peluang di sisi legal.
Artinya RUU tersebut berpotensi menjadi payung bagi UU lain tentang pertanian.
Diskusi mengenai bank benih tani
nasional berupaya menjawab tantangan benih hibrida yang merajalela melalui
kemandirian benih oleh petani. Penyediaan benih oleh petani nampaknya
mempertimbangkan aspek lokal yang menjadi sifat alamiah benih. Oleh karena itu
pelembagaan bank benih tani nasional mesti memerkuat praktik petani pemulia
benih lokal di berbagai wilayah. Pun pula dengan keberadaan bank benih tani
nasional, diharapkan mampu mengurangi praktik kriminalisasi terhadap petani
pemulia tanaman pangan.
Diskusi berakhir dengan
kesepakatan kegiatan tindak lanjut: diskusi tentang bank benih tani nasional
lanjutan. Soal agenda Judicial Review UU nomor 12/1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman akan ditindaklanjuti pada perumusan positioning paper pada minggu
keempat bulan Juni 2012.
Menggagas RUU Perlindungan Petani
Menyikapi hasil Prolegnas Badan
Legislasi periode 2009-2014, Raca Institute bersama Petani mandiri melakukan
pertemuan untuk merumuskan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani yang sudah disahkan masuk dalam prolegnas periode sekarang,
Pertemuan ini menjadi sangat penting untuk ditindaklanjuti sebagai langkah maju
bagi petani yang selama ini cenderung tertindas.
Pertemuan yang difasilitasi oleh
Raca institute menghadirkan peserta dari Beberapa kalangan NGO dan OTL
(Organisasi Tani Lokal), proses pertemuan berlangsung cukup menarik sehingga
waktu yang ditentukan tidak cukup untuk bisa menampung sekian banyak keluh dan
resah dari perwakilan petani terkait dengan masukan untuk isi Naskah Akademik
RUU tersebut.
Dari sekian banyak masukan dari
perwakilan petani ada Beberapa masukan telah dirangkum untuk dimasukan agar
menjadi bahan NA yang akan di ajukan kepada Baleg nanti. Poin-poin yang akan
dimasukan merupakan bagian dari langkah nyata yang pernah dialami oleh
teman-teman petani belakangan ini seru
Sari Cahyati yang merupakan Staf dari Raca Institute.
Beberapa kutipan hasil
kesepakatan dari pertamuan yang telah ditentukan untuk dimasukan dalam draf NA
(Naskah Akademik) tersebut yang diataranya adalah:
1. Akses Pasar
2. Sumber Daya Alam dan Lingkungan
3. SDM, Termasuk Petani Perempuan
4. Sumber Daya Sistem
5. Tehnologi
6. Jaringan kerja
7. Kebijakan
8. Pendanaan.
Solikin Kertorejo yang merupakan
Sekjen Perhimpunan Tani Nelayan Indonesia Mandiri (Petani Mandiri) sekaligus
mewakili petani dari 9 Propinsi Mengutip apa yang dikatakan oleh Anggota Komisi
IV Bapak Erik Satrya Wardhana pada saat RDPU Raca dengan Komisi IV pada tanggal
4 Nov 2009, "bahwa memang betul petani sekarang tidak lagi dalam posisi
untuk maju malah sebaliknya, Ada apa dengan sistem pertanian kita ini yang akan
menjadi PR besar kita komisi IV yang dibantu oleh teman-teman NGO seperti Raca
dan Petani Mandiri, berarti masih ada yang salah dengan kebijakan kita".
Lebih lanjut Sekjen Petani
Mandiri mengatakan bahwa sangat mengharapkan kerjasama serta niat baik dari
pemerintah periode 2009-2014 ini untuk dapat menjadikan RUU tersebut menjadi
sebuah UU yang nantinya menjadi payung bagi petani sebagaimana yang telah menjadi keluhan masyarakat umumnya dalam hal
ini petani dan penggarap, di Puncak-Mega mendung, 15-16 Desember 2009.
0 comments
Post a Comment