PENDAHULUAN
Kredit Usahatani (KUT)
merupakan sebuah nama dari kebijaksanaan kredit pertanian di Indonesia yang
paling popular kegagalannya. Kegagalan yang diukur oleh besaran tunggakannya.
Menurut perpustakaan. Bapenas.go.id
(akses, 1-1-2011) tunggakan KUT di Tasikmalaya mencapai Rp. 52 milyar.
Menurut www.suarakarya-online.com (23/12-2002)
di seluruh Indonesia tunggakan KUT menjerat utang 13.488 koperasi yang mencapai
Rp.5,805,- trilyun. Tingginya tunggakan KUT dapat di lihat dari semenjak
dikucurkan tahun 1995 hingga tahun 2000 mencapai Rp. 7,2 trilyun atau 68,5
persen dari total kredit (Tempo Interaktif.Com, 28/1-2002 .Berita.liputan6.com
(24/1-2005) pun melansir bahwa, KUT sepanjang lima tahun terakhir hingga tahun
2005 yang mencapai sedikitnya Rp. 5 trilyun masih belum dapat diselesaikan.
KUT dapat dikatakan sebagai
salah satu bentuk instrument dari riwayat perBIMASan sejak tahun 1961/1962 yang
bersifat developmental policy (Moeljadi Banoewidjojo, 1983 dan Sri Widodo, 1980).
Bimbingan Massal itu
sendiri yang pada awalnya berjalan baik bahkan sukses dalam perkembangan
selanjutnya ternyata makin lama makin banyak kredit yang tak kembali, sebagian
tertahan pada petani dan sebagian tertahan pada pihak-pihak lain seperti pamong
desa dan pejabat dari lain-lain Instansi. Karena kegagalan ini, maka pemerintah
menetapkan kebijakan baru dalam perkreditan sebagai pengganti KUT, yaitu
kebijakan kredit Ketahanan Pangan (Zaini Amin, 2001).
PERUMUSAN
MASALAH
Kajian ini ingin berusaha
untuk dapat merangkum mengapa KUT gagal ?. Apakah kegagalan tersebut terletak
pada tujuan kebijakan yang kurang tajam ??. Apakah kegagalan tersebut terletak
pada prosesnya ?. Apakah kegagalan tersebut terletak pada kelembagaannya atau
pada aktor nya ?. Adakah problema-problema lainnya ?. Selanjutnya siapa yang
diuntungkan/dirugikan oleh kebijakan ini ?. Dan yang terpenting bagaimana upaya
pemecahannya ?. Adanya deskripsi permasalahan ini diharapkan dapat memberikan
peningkatan kualitas kepada kebijaksanaan kredit pertanian Indonesia yang pada
gilirannya kita menjadi lebih dewasa.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Berbicara tentang konsep,
menurut Frank Ellis (1992), kredit pertanian merupakan pembentukan kapital di
pedesaan. Sejak tahun 1950 dan awal tahun 1960 kredit pertanian diperuntukkan
untuk memotong vicious circle atas rendahnya income, guna mendorong pertumbuhan
output pertanian melalui peningkatan kinerja petani, penerapan teknologi baru
terutama bagi petani kecil. Di samping itu kebijakan kredit pertanian memiliki
tujuan untuk kepentingan politik. Dengan demikian tujuan kebijakan kredit
pertanian lebih berorientasi kepada equity ketimbang efisiensi.
Kredit pertanian di
Indonesia erat kaitannya dengan BIMAS. Bimbingan Massal (BIMAS) adalah suatu
manajemen pembangunan pertanian, untuk menggerakkan partisipasi petani secara
missal, agar produktivitas nya meningkat. Oleh karena nya kebijakan KUT
memiliki sifat developmental policy. Developmental policy adalah suatu
kebijakan yang ditekankan pada supply function dari komoditi dan resources.
Mempunya pengaruh menaikkan supply.
Kredit usahatani (KUT) yang
sempat digulirkan tahun 1984/1985 melalui beberapa KUD terplih digulirkan
kembali pada tahun 1998. Dasar ketentuan tentang kebijakan ini adalah SK Bank
Indonesia No. 31/24.A/KEP/DIR. Tanggal 7 Mei 1998 dan SE No. 31/7/UK. Tanggal 2
Juli 1998. Kemudian diperkokoh oleh Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.
31/164/KEP/DIR, tanggal 8 Desember 1998, namun pada akhirnya hancur juga oleh
permasalahan yang menggurita.
KUT merupakan salah satu
jenis dari skim kredit program yang dicanangkan Pemerintah untuk Koperasi
Pengusaha Kecil dan Menengah. Skim tersebut seluruhnya berjumlah 13 jenis.
Kebijakan Pemerintah ini bila ditengarai merupakan kesadaran Pemimpin Negara
yang terlalu dekat dengan konglomerat yang banyak utang nya di tengah-tengah
krisis ekonomi yang sedang berlangsung.
KUT sebagai instrument
dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Usaha-usaha yang dibiayai seperti,
intensifikasi padi, palawija; dan hortikultura.
2. Jangka waktu : Maksimum satu tahun
terhitung sejak akad.
3. Suku bunga sebesar, 10,5 persen
(including fee bank = 2 persen, imbalan PPL = 1 persen; imbalan Koperasi/LSM =
5 persen; pembayaran premi kepada Perum PPK = 1,5 persen; dana titipan
pemerintah = 1 persen).
4. Jaminan : kelayakan usaha.
5. Delivery sistem : Bank, Koperasi /
LSM, Kelompok Tani, PPL, Dep. Koperasi (PKM) dengan prosedur : pertama,
permohonan diajukan oleh Kelompok Tani dalam bentuk RDKK kepada Koperasi atau
LSM. Ke dua, Koperasi atau LSM menyampaikan permohonan KUT kepada Kantor Bank
setempat dalam bentuk rekapitulasi RDKK disertai dengan RDKK masing-masing
Kelompok Tani. Ke tiga, penarikan kredit dilakukan oleh Koperasi/LSM sesuai
dengan rencana penarikan KUT yang diajukan berdasarkan RDKK. Ke empat, untuk
penarikan KUT, Koperasi/LSM harus menyerahkan surat pengakuan utang (surat
aksep) yang ditandatangani oleh pengurus Koperasi/LSM.
Berbicara tentang
permasalahan, kegagalan KUT dapat dilihat dari besarnya permasalahan itu
sendiri. Permasalahan yang tampak itu berupa besar nya tunggakan. Permasalahan
yang berkaitan dengan tujuan, memang tujuan utama sering kali terbiaskan oleh
tujuan yang berorientasi kepada kepentingan politik.
Tampaknya sudah disadari
oleh para pengambil kebijakan bahwa, kredit tani itu secara politis penting,
tetapi secara teknis sulit dilaksanakan (R. Tjipto Adinugroho, 1973). Bila
diamati lebih jauh pemkiran tentang kredit di Indonesia bersifat statis dengan
tujuan terutama untuk menyelamatkan petani dari pelepas uang dan sistem ijon.
Keunggulan sistem ijon ialah mudah, cepat dan tepat, sedangkan keunggulan
kredit pemerintah adalah bunga murah (Mubyarto, 1989). Namun pada dasarnya bagi
petani itu makin banyak sumber keredit makin baik.
Melencengnya tujuan
pemberian kredit lebih disebabkan oleh adanya sistem target yang ditentukan
oleh atasan. Makin besar target tercapai, makin tinggi lah prestasi pejabat
yang bersangkutan, padahal target tercapai belum tentu menunjukkan
keberhasilan. Persoalan diikatnya pemberian kredit dengan keharusan komoditas
yang diusahakan, turut memperbesar melencengnya pemberian kredit kepada petani.
Penajaman tujuan dalam
kebijaksanaan kredit pertanian ini diperlukan baik yang menyangkut aparat
kelembagaan dan kelompok sasaran. Baik secara politis maupun teknis tujuan
pemberian kredit itu dalah untuk mendorong motivasi petani, sehingga pada
gilirannya tercipta peningkatan kesejahteraan petani yang bersifat equity.
Permasalahan yang berkaitan
dengan kelembagaan sebenarnya tidak tampak kepermukaan. Malahan jaringan
kelembagaan BIMAS Intensifikasi Pertanian tampaknya sudah mantap. Jadi
permasalahan yang muncul terletak pada aktor-aktornya. Inilah kendala yang
melilit kasus KUT, yaitu adanya penyelewengan oleh oknum yang terlibat dalam
proses penyaluran dan pengembalian. Katakan lah Ketua LSM yang cenderung
memiliki penyakit rent seeking; sang PPL yang kurang jujur, senang melakukan
fiktif tentang petani yang butuh kredit.
Solusinya di sini jelas
diperlukan perbaikan sistem kontrol/kendali pada orang yang menyangkut moral,
iman dan taqwa. Taqwa tidak lah sekedar baju atau pun penampilan gaya
pesantren, tetapi menyangkut memenuhi aturan Allah dan menjauhi larangan Nya.
Bahkan sebaik nya tidak cukup menjauhi larangan Nya tetapi kita harus mampu
untuk tidak melaksanakan apa-apa yang tidak diperintahkan Nya.
Problema lainnya yang
menyangkut kredit pertanian ini cukup kompleks. Di samping persoalan cost of
living dan ketiadaan jaminan yang melilit petani kita, juga patut disadari
bahwa kredit pertanian ini bukan lah syarat mutlak pembangunan pertanian,
karena yang mutlak adalah mendorong motivasi petani untuk menerapkan teknologi
(A.T. Mosher, 1978). Artinya, kredit pertaian dapat berfungsi, jika tersedia
input produksi untuk dibeli secara lokal.
Bila ditelaah lebih dalam
problema yang meghambat kebijaksanaan kredit di lapangan sangat lah banyak.
Masing-masing barrier memiliki kaitan dengan barrier lainnya. Katakan lah,
tiada nya sanksi kepada kelompok atau individu yang tidak dapat mengembalikan
modal tepat waktu akan berakibat pada bantuan yang pada awalnya berupa pinjaman
ini, oleh masyarakat seringkali dianggap sebagai bantuan murni.. Begitu pula
ketidakberhasilan kelompok untuk mengembalikan modal ini, tidak terlepas dari
proses pemanfaatan modal tersebut. Dalam hal ini adalah jenis usaha yang
dipilih oleh kelompok tersebut. Idealnya jenis usaha ini ditentukan oleh
kelompok (partisipatif) dan sesuai dengan kemampuan dan prospek ekonomi dari
jenis usaha tersebut (Ganjar Kurnia, 1996). Jadi sebaiknya sudah harus
dihindari apa itu yang bernama penyeragaman pola dan komoditas dalam kebijakan pembangunan
pertanian.
Ada lagi satu hal yang
patut disorot tentang penyebab KUT gagal ini. Barrier yang dimaksud adalah
masuknya berbagai instansi ke pedesaan ini ada kalanya tidak diikuti dengan
metode pendekatan yang sama. Sebagaimana diketahui metode pemberian modal ke
pedesaan itu meliputi : sistem perguliran (revolving), semi partisipatif,
kontributif, kredit (KUT), sinterklas (yang sering kali dilakukan oleh Negara
donor). Jadi adanya perbedaan metode pendekatan ini selain membingungkan
masyarakat, sampai tingkat tertentu dapat pula mengganggu kegiatan pembangunan
secara keseluruhan. Pengalaman menunjukkan, bahwa ada beberapa kegiatan yang
dirancang dengan model partisipatif, namun karena masyarakat melihat adanya
beberapa kegiatan pembangunan lain yang diperoleh secara gratis dan bahkan
untuk sekedar duduk pun dibayar, maka kegiatan pembangunan yang bersifat
partisipatif tersebut akhirnya gagal total.
KUT sebagai produk sebuah
kebijakan memiliki dampak ke berbagai pihak, baik pihak kelompok sasaran yaitu
petani maupun pihak lainnya yaitu pelaku yang terlibat dalam program tersebut
bahkan masyarakat desa keseluruhan.
Pihak-pihak yang mendapat side effect
positif diantaranya :
a. Petani, karena dengan
adanya dana tersebut setidaknya telah membantu mereka untuk membelisarana
produksi dan biaya hidup selama usaha belum menghasilkan.
b. Pengusaha atau Lembaga yang
bergerak di bidang memproduksi dan menyediakan input pertanian, dengan adanya
KUT akan meningkatkan volume jual input pertanian.
c. Lembaga yang terlibat dalam
penyaluran KUT melalui income fee.
d. Pemerintah, karena beban
yang ditanggung akibat ulah sebagian besar konglomerat terlindungi oleh
kemacetan pengembalian KUT.
Pihak-pihak yang mendapat side effect
negative, diantaranya :
a. Petani dan pihak lainnya, karena
kejujurannya.
b. Pemerintah, karena harus
menyediakan dana untuk flafound kredit, apa lagi jika sumbernya dari utang Luar
Negeri.
PENUTUP
Beberapa problema yang
melilit kebijkasanaan kredit pertanian di Indonesia, pada intinya lebih
disebabkan oleh munculnya kepentingan pribadi dari orang yang tidak bermoral,
akibat lemahnya sistem kontrol/kendali dan buruknya citra pemerintah yang
sedang berkuasa.
Perbaikan sistem
kontrol/kendali dari orang yang bermoral dilakukan tidak hanya di jajaran
birokrasi, tetapi juga
penting sekali ada nya di jajaran organisasi LSM dan Koperasi.
Perlu disadari bahwa,
akibat tunggakan KUT banyak Koperasi kecil masuk ke dalam daftar hitam atau
setidaknya meraih citra negatif. Ada baiknya apabila tunggakan KUT itu dihapus.
Menurut www.pelita.or.id (akses 1/1-2011), penghapusan tunggakan KUT itu
ditujukan agar para penunggak yang terdiri atas petani dan koperasi dapat
segera bangkit. Dengan kata lain tentunya KUT yang akan dihapusbukukan itu
harus lah yang benar-benar sampai ke petani.
TINJAUAN
PUSTAKA
Berita.Liputan6.Com. Ases 1/1-2011.
Ganjar Kurnia. 1996.
Pendekatan Partisipatif dalam Pembangunan Desa. PDP UNPAD. Bandung.
Harian Umum Pikiran Rakyat.
2001. Tunggakan KUT Rp. 217,9 Milyar. Penerbit Granesia. Bandung.
Moeljadi Banoewidjojo.
1983. Pembangunan Pertanian. Usaha Nasional. Surabaya.
Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi
Pertanian. LP3ES. Jakarta.
Mosher,A.T. 1978.
Menggerakkan dan Membangun Pertanian. C.V. Yasaguna. Jakarta.
Frank Ellis. 1992.
Agricultural Polices In Developing Countries. Cambridge University.
Perpustakaan.bapenas.go.id . Akses
1/1-2011.
Sri Widodo. 1980. Pengantar
Politik Pertanian, Dilema Kebijaksanaan Pembangunan da masalah Struktur
Pertanian. UGM. Jogyakarta.
Tempo Interaktif.Com. Akses 1/1-2011.
Tjiptoadinugroho, R.1973.
Perbankan, Masalah Perkreditan. Pradnya Paraita. Jakarta.
Www.suarakarya-online.com. Akses
1/1-2011.
0 comments
Post a Comment